Sabtu, 22 April 2017

PENGADILAN PUISI MUTAKHIR INDONESIA

Catatanku : Ringkasan mengenai
“PENGADILAN PUISI”
Pamusuk Aneste
Menurut Sapardi Djoko Damono,gagasan asli pengadilan puisi dari Darmanto pada tahun 1970 dan dimaksudkan sebagai badutan.Jika kita membaca tulisan Darmanto maupun tulisan Slamet Kirnanto memang terasa didalamnya ketidakpuasan terhadap kehidupan puisi Indonesia.
Slamet Kirnanto yang menjadi jaksa.Dan majelis hakim yang terdiri atas dua orang,yaitu Hakim Ketua Sanento Yuliman,didampingi Darmanto Jt.Sedangkan pembelanya,yaitu Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono.Taufiq Ismail menerima surat melalui Sutardji Calzoum Bachri mengenai perihal undangan untuk mengikuti Pengadilan Puisi.Taufiq Ismail menerima “jabatan pembela”,dan karena Sapardi Djoko Damono tidak datang karena sakit,Taufiq Ismail meminta Hendrawan Nadesul untuk mendampinginya.Dan saksi-saksi yang telah dipilih.
Dalam pengadilan yang berlangsung,Slamet Kirnanto yang sebagai hakim membacakan tuntutannya : “ Saya Mendakwa Kehidupan Puisi Indonesia Akhir-akhir ini tidak Sehat,tidak Jelas dan Brengsek !”.
Tuntutan yang berdasarkan “Kitab Undang-undang Hukum Puisi,adalah sebagai berikut:
1. Para kritikus khususnya H.B Jassin dan M.S Hutagalung harus “dipensiunkan” karena dianggap tidak mampu mengikuti perkembangan puisi mutakhir.
2. Para editor majalah sastra,khususnya Sapardi Djoko Damono dicuti besar-besaran.
3. Para penyair mapan seperti Subagio,Rendra,Goenawan dan sebangsanya dilarang menulis puisi dan epigonnya harus dikenakan hukum pembuangan,dan
4. Majalah Horison dan Budaya Jaya harus dicabut SIT-nya dan yang sudah terbit selama ini dinyatakan tidak berlaku,dan dilarang untuk dibaca peminat sastra serta masyarakat umum sebab akan mengkisruhkan perkembangan sastra dan puisi yang diharapkan sehat dan wajar.

Sapardi Djoko Damono berkesimpulan bahwa tuntutan Slamet Kirnanto ditulis dengan bahasa yang buruk,tidak berisi hal-hal baru dan tidak kocak.Tuntutan-tuntutan yang diucapkan jaksa sebagai bentuk kejengkelannya itu cukup terdengar konyol.Dari jalannya Pengadilan Puisi saja terdengar konyol,yaotu sebuah kursi kosong ditengah,terdakwa yang tidak berjasad : Puisi Mutakhir Indonesia.Lalu,kursi kosong itu diseret kesana-kemari dan saksi-saksi pun bergantian menduduki kursi terdakwa.
Saksi ada dua macam,yang memberatkan dan yang meringankan.Saksi golongan pertama,yaitu : Sutardji,Sides Sudyarto, Abdul Hadi dan Pamusuk Eneste,kemudian golongan kedua yaitu Saini K.M, Wing Kardjo,Adri Darmadji dan Yudhistira Adri Noegraha.
Sedang, H.B Jassin yang disebut-sebut namanya dalam Pengadilan Puisi,mengatakan bahwa ia adalah orang yang masuk kedalam golongan ketiga,karena Jassin berpikir bahwa ia dapat menerima segala macam imajinasi-imajinasi penulis bagaimanapun anehnya.Dan tentunya,ia sudah mendengar tentang salah satu tuntutan yang mengatakan bahwa ia sebagai kritikus yang harus dipensiunkan karena tidak mapu mengikuti perkembangan zaman.Jassin berpendapat,walaupun ia pensiun menjadi pegawai negeri,ia tidak akan berhenti dibidang kesusastraan.”Sepuluh tahun lagi,siapakah yang masih bersuara diantara orang-orang yang berkaok-kaok sekarang ini dan apakah prestasi yang telah mereka berikan kepada kesusastraan Indonesia ?” tanggapannya mengenai tuntutan di Pengadilan Puisi.
Begitupun dengan M.S Hutagalung yang pada awalnya menganggap “pengadilan puisi” hanya lelucon yang tidak harus ia tanggapi serius.M.S Hutagalung malah mengemukakan pendapatnya mengenai tuntutaan Slamet Kirnanto sebagai Jaksa, yaitu nahwa pandangan Slamet Kirnanto tidak sehat dan pernyataannya tidak ada bukti,serta yang menyebabkan puisi mutakhir menjadi brengsek bukan karena kritikus.Dan ia mengatakan bahwa jika ingin menilai para kritikus,nilailah dari karya mereka sebagai ‘pengarah’ sastra Indonesia.Secara garis besar,ia mengatakan tuntutan dari Slamet Kirnanto tidak wajar dan tidak dapat ia terima.
Slamet Kirnanto mengatakan bahwa kritikus hanya terpikat pada yang istimewa.Dimana,Hutagalung mengistimewakan Subagio.Ia mengatakan,bahwa puncak keberhasilan Subagio yaitu pada sajak “Dan Kematian Semakin Akrab”.Kemudian ditangkis oleh H.B Jassin yang berpendapat bahwa W.S Rendra adalah penyair terbesar karena Rendra berhasil menggambarkan gagasan-gagasan terdalam.Dan bagi Hutagalung sajak-sajak Rendra sering tergelincir pada permainan kata yang terlalu manis dan bombastis,dan sajaknya banyak klise-klise dan bibel. Darmanto berpendapat bahwa,puisi Indonesia dibayangi oleh Chairil Anwar,sehingga Chairil Anwar telah menjadi sistem penilaian terhadap puisi Indonesia lain.Sitor Situmorang dan W.S Rendra suram dibawah bayangannya.Dan Taufiq Ismail hadir sebagai angin baru.
Slamet Kirnanto merasa geli mendengar perdebatan itu,dan berpendapat bahwa Hutagalung tergoda oleh tingkat intelektualitas yang dimilikii Subagio sedang Jassin terpengaruh oleh popularitas Rendra.Itulah sebabnya Slamet Kirnanto menjatuhkan tuntutan tentang “dipensiunkan” kepada para kritikus,karena para kritikus dianggap tidak mengikuti perkembangan.Sehingga,apa yang diajukan hanya bersifat pendapat pribadi dengan melihat kepopuleran seorang penyair tanpa mau memperhatikan penyair-penyair lain,sehingga dengan kata lain mereka berpedapat seperti itu karena fokus mereka hanya pada penyair-penyair yang telah mereka tunjuk.Begitupun dengan komentar Goenawan Mohamad tentang tuntutan Slamet Kirnanto dipengadilan pusi bahwa Pengadilan puisi ini juga menunjukan ciri-ciri beberapa seniman,yang gemar mencari bentuk baru dan menimbulkan kontroversial untuk menarik khalayak untuk berkerumumun.
Dan sidang dihentikan sejenak untuk para hakim menyusun keputusannya dengan menindahkan Kitab Undang-undang hukum puisi,mempertimbangkan Hukum Adat serta membaca Cerita Adat.Hakim Darmanto menolak semua tuntutan jaksa.Diputuskan pula bahwa puisi Mutakhir Indonesia memang ada,cuma belum berkembang.Bunyi keputusan :
1. Para kritikus sastra tetap diizinkan untuk menulis dan mengembangkan kegiatan serta meneruskan eksistensinya,dengan catatan harus segera mengikuti kegiatan kursus penaikan mutu dalam Sekolah Kritikus Sastra,yang akan segera didirikan.
2. Para redaktur Horison tetap diizinkan terus memengang jabatan mereka,selama mereka tidak merasa malu.Bila dikehendaki sendiri,mereka boleh mengundurkan diri.
3. Para penyair mapan,established,masih diberi peluang untuk berkembang terus.Begitu juga para penyair epigon dan inkarnatif,boleh menulis terus dengan keharusan segera masuk kedalam Panti Asuhan atau Rumah Perawatan Epigon.
4. Majalah sastra Horison tidak perlu dicabut SIT-nya,hanya dibelakang nama lama harus diembeli dengan kata “Baru”,sehingga menjadi Horison Baru.Masyarakat luas tetap mendapat izin membaca sastra dan membaca puisi.Demikian keputusan Majelis Hakim.
Jaksa Slamet Kirnanto tidak merasa puas dengan keputusan ini dan menyatakan naik banding kepengadilan yang lebih tinggi.Dan di tanggapi oleh Hakim “boleh-boleh saja.Nanti kapan-kapan dikota lain”.Pembela merasa heran dengan prestasinya dan minta supaya kopinya ditambah panitera.Permintaan dikabulkan.

1 komentar: