Kamis, 23 Februari 2017

Sebuah Narasi tentang Kebudayaan



Nama    : Mira Santika
NIM       : 1614015006
Kelas     : Sastra Indonesia (A)



Penceritaan tentang Permainan Kekerabatan

                Ada sebuah permainan yang seringkali kami mainkan ditengah lapangan. Permainan ini hampir sama dengan petak umpet,namun dengan variasi yang berbeda,yaitu menentukan siapa yang  ‘jaga’  dengan cara menyusun kayu seperti bentuk tenda kemudian jika yang menghancurkan susunan kayu adalah yang terjauh pertama,kedua,ketiga dan seterusnya,maka yang jaga adalah yang paling dekat jaraknya dengan kayu. Namun, jika tidak berhasil menjatuhkan . Kesempatan menjadi milik yang terdekat. Yang ‘jaga’ harus menutup mata sesudah menyusun kembali kayu seperti semula lalu mengatakan ‘dah hik’ ,yang lain harus  ‘bersembunyi’  sambil mencari kesempatan untuk merubuhkan kayu itu kembali sambil berteriak ‘dah’. Yang jaga harus menjaga kayunya jangan sampai rubuh sambil mencari yang bersembunyi,dan jika menemukan yang jaga harus melompati kayu sambil menyebutkan nama si ‘penyembunyi’ dan mengatakan ‘tewak’.
                Permainan tersebut merupakan permainan yang seringkali kami mainkan saat kecil ,karena permainan ini tidak ada batas untuk jumlah yang memainkan. Semakin banyak yang ikut dalam permainan maka semakin ramai. Namun, sekarang lapangan yang dulu ramai kami huni untuk bermain telah berpindah fungsi menjadi tempat parkir bagi pekerja,sehingga lapangan yang dulu ditumbuhi rumput-rumput kecil malah berubah menjadi tempat  beraspal yang tidak mungkin menjadi tempat kami berlarian-larian bersama teman sepermainan.

                Permainan Kekerabatan yang Berubah menjadi Padang Beraspal

                Permainan tradisional seringkali menjadi ajang untuk menjalin kekerabatan antar anak yang tentu saja bermanfaat untuk perkembangan fisik dan mental anak. Tapi bagaimana jika lapangan tempat mereka saling bertemu dan bercanda diatas rerumputan  malah berubah menjadi padang beraspal dan dipenuhi kendaraan?.
                Dulu,anak yang jaga dengan riang bermain dan berteriak ‘dah hik’ yang  artinya ‘sudah tidak ?’ kepada anak yang bersembunyi ‘dah’ yang artinya ‘sudah’.Lalu mengatakan ‘tewak’ yang berati ‘ketemu’.Hal yang tradisional adalah bagian yang menciptakan dunia simbolik dan akhirnya menentukan identitas kita.Sementara, kebudayaan yang menjadi identitas kita sebagai bangsa Indonesia malah mengalami penurunan dan tergantikan oleh hal-hal yang sedang ‘tren’ atau dikatakan ‘kekinian’.
                Identitas,integritas,orisinalitas telah menjadi hal yang penting dalam kebudayaan Dalam hal ini kita mengingat pendapat dari Jean M.File dalam bukunya “Current Concept of Arts”,yang menunjukan perlunya orientasi interaksi “subyektif-objektif” dalam kebudayaan.Dalam hal ini kebudayaan bukan hanya ekspresi pengalaman belaka ,tetapi juga wujud interaksi kita dengan lingkungan ,termasuk lingkungan kebudayaan (Jatman,1985:118).
                Zaman memang terus berkembang,dan manusia mempunyai kemampuan untuk mencerna,merenung,merefleksi,dan meneliti dalam upaya memahami lingkungannya (Maksum,2008:14). Akan tetapi beriring dengan arus globalisasi yang tajam malah menjadikan perubahan sebagai senjata untuk memusnahkan kearifan lokal.
                Menurut Kak Seto, dunia anak adalah dunia bermain,”Mereka senang sekali bermain. Mereka belajar segala sesuatu melalui bermain”. Mereka berbaur dengan segala keunikan dan sekaligus belajar,dan bagaimana mungkin mereka bisa berbaur kembali dan berkembang secara kebudayaan jika tidak ada lagi media yang mendekatkan mereka?. Dalam permainan tersebut, yang ‘jaga’ harus menjaga kayu agar jangan roboh,hal yang sepele itu bisa saja menjadi sebuah pembelajaran untuk seorang anak agar menjaga apa yang menjadi tanggung jawabnya (Manai,2001:79).         
                Perkembangan Negara Indonesia memang mempermudah manusia dalam kehidupannya. Akan tetapi,secara tidak sadar malah merubah pola perilaku dan tatanan hidup yang jauh dari budaya Indonesia.
                Kehidupan alam dan kehidupan kebudayaan  atau culture pada hakikatnya telah kacau (Alisjahbana,1977:8). Anak zaman sekarang lebih memilih bermain game sendiri dibanding berkumpul dengan temannya.Adanya suatu kerenggangan yang membuat solidaritas menjadi rentan. Kebudayaan tercecer bahkan malah tertimbun oleh budaya luar.
               
                Jika kebudayaan adalah identitas atau kepribadian bangsa. Lalu bagaimana jadinya jika kebudayaan itu tertimbun oleh sisi buruk globalisasi ?.
               
Sumber :
 Jatman,Darmanto.1985.Sastra,Psikologi dan Masyarakat.Bandung: Penerbit Alumni.
 Maksum,Ali.2008.Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.Jogjakarta:  Ar-            Ruzz Media.
 Manai,Evi.2001.Kak Seto Sahabat Anak-anak.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
 Alisjahbana,S.Takdir.1977.Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia diLihat dari                                Jurusan dan Nilai-nilai.Jakarta:Idayu Press

                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar