Nama : Mira Santika
NIM : 1614015006
Kelas : Sastra Indonesia (A)
Penceritaan tentang Permainan Kekerabatan
Ada sebuah permainan yang seringkali kami
mainkan ditengah lapangan. Permainan ini hampir sama dengan petak umpet,namun
dengan variasi yang berbeda,yaitu menentukan siapa yang ‘jaga’ dengan cara menyusun kayu seperti bentuk tenda
kemudian jika yang menghancurkan susunan kayu adalah yang terjauh
pertama,kedua,ketiga dan seterusnya,maka yang jaga adalah yang paling dekat
jaraknya dengan kayu. Namun, jika tidak berhasil menjatuhkan . Kesempatan
menjadi milik yang terdekat. Yang ‘jaga’ harus menutup mata sesudah menyusun
kembali kayu seperti semula lalu mengatakan ‘dah hik’ ,yang lain harus ‘bersembunyi’
sambil mencari kesempatan untuk merubuhkan kayu itu kembali sambil
berteriak ‘dah’. Yang jaga harus menjaga kayunya jangan sampai rubuh sambil
mencari yang bersembunyi,dan jika menemukan yang jaga harus melompati kayu
sambil menyebutkan nama si ‘penyembunyi’ dan mengatakan ‘tewak’.
Permainan
tersebut merupakan permainan yang seringkali kami mainkan saat kecil ,karena
permainan ini tidak ada batas untuk jumlah yang memainkan. Semakin banyak yang
ikut dalam permainan maka semakin ramai. Namun, sekarang lapangan yang dulu
ramai kami huni untuk bermain telah berpindah fungsi menjadi tempat parkir bagi
pekerja,sehingga lapangan yang dulu ditumbuhi rumput-rumput kecil malah berubah
menjadi tempat beraspal yang tidak
mungkin menjadi tempat kami berlarian-larian bersama teman sepermainan.
Permainan
Kekerabatan yang Berubah menjadi Padang Beraspal
Permainan tradisional seringkali menjadi
ajang untuk menjalin kekerabatan antar anak yang tentu saja bermanfaat untuk
perkembangan fisik dan mental anak. Tapi bagaimana jika lapangan tempat mereka
saling bertemu dan bercanda diatas rerumputan
malah berubah menjadi padang beraspal dan dipenuhi kendaraan?.
Dulu,anak
yang jaga dengan riang bermain dan berteriak ‘dah hik’ yang artinya ‘sudah tidak ?’ kepada anak yang
bersembunyi ‘dah’ yang artinya ‘sudah’.Lalu mengatakan ‘tewak’
yang berati ‘ketemu’.Hal yang tradisional adalah bagian yang menciptakan dunia
simbolik dan akhirnya menentukan identitas kita.Sementara, kebudayaan yang
menjadi identitas kita sebagai bangsa Indonesia malah mengalami penurunan dan
tergantikan oleh hal-hal yang sedang ‘tren’ atau dikatakan ‘kekinian’.
Identitas,integritas,orisinalitas
telah menjadi hal yang penting dalam kebudayaan Dalam hal ini kita mengingat
pendapat dari Jean M.File dalam bukunya “Current Concept of Arts”,yang
menunjukan perlunya orientasi interaksi “subyektif-objektif” dalam
kebudayaan.Dalam hal ini kebudayaan bukan hanya ekspresi pengalaman belaka
,tetapi juga wujud interaksi kita dengan lingkungan ,termasuk lingkungan
kebudayaan (Jatman,1985:118).
Zaman
memang terus berkembang,dan manusia mempunyai kemampuan untuk
mencerna,merenung,merefleksi,dan meneliti dalam upaya memahami lingkungannya
(Maksum,2008:14). Akan tetapi beriring dengan arus globalisasi yang tajam malah
menjadikan perubahan sebagai senjata untuk memusnahkan kearifan lokal.
Menurut
Kak Seto, dunia anak adalah dunia bermain,”Mereka senang sekali bermain. Mereka
belajar segala sesuatu melalui bermain”. Mereka berbaur dengan segala keunikan
dan sekaligus belajar,dan bagaimana mungkin mereka bisa berbaur kembali dan
berkembang secara kebudayaan jika tidak ada lagi media yang mendekatkan
mereka?. Dalam permainan tersebut, yang ‘jaga’ harus menjaga kayu agar jangan
roboh,hal yang sepele itu bisa saja menjadi sebuah pembelajaran untuk seorang
anak agar menjaga apa yang menjadi tanggung jawabnya (Manai,2001:79).
Perkembangan
Negara Indonesia memang mempermudah manusia dalam kehidupannya. Akan
tetapi,secara tidak sadar malah merubah pola perilaku dan tatanan hidup yang
jauh dari budaya Indonesia.
Kehidupan
alam dan kehidupan kebudayaan atau culture
pada hakikatnya telah kacau (Alisjahbana,1977:8). Anak zaman sekarang lebih
memilih bermain game sendiri dibanding berkumpul dengan temannya.Adanya
suatu kerenggangan yang membuat solidaritas menjadi rentan. Kebudayaan tercecer
bahkan malah tertimbun oleh budaya luar.
Jika
kebudayaan adalah identitas atau kepribadian bangsa. Lalu bagaimana jadinya
jika kebudayaan itu tertimbun oleh sisi buruk globalisasi ?.
Sumber
:
Jatman,Darmanto.1985.Sastra,Psikologi
dan Masyarakat.Bandung: Penerbit Alumni.
Maksum,Ali.2008.Pengantar
Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.Jogjakarta: Ar- Ruzz
Media.
Manai,Evi.2001.Kak
Seto Sahabat Anak-anak.Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Alisjahbana,S.Takdir.1977.Perkembangan
Sejarah Kebudayaan Indonesia diLihat dari Jurusan
dan Nilai-nilai.Jakarta:Idayu Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar