Kamis, 16 Februari 2017

Makalah mengenai Ciri atau Corak karya Sastra Angkatan Pujangga Baru

BAB I PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang

       Pada mulanya,pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai sampai dengan adanya pelanggaran oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana,Armein Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tidak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya dimuat dalam majalah.Adapun majalah itu,diterbitkan oleh Pustaka Rakyat. Tetapi, pada zaman kedudukan Jepang majalah Pujangga Baru dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi ( hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh –tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani,Rivai Apin dan S.Rukiah (Waluyo,2010).


 B. Rumusan Masalah

1. Apa saja ciri atau corak karya sastra Angkatan Pujangga Baru ?
2. Apa yang penting dari Angkatan Pujangga Baru ?


 C. Tujuan

 1. Menjelaskan ciri dan corak karya sastra Angkatan Pujangga Baru
 2. Pemaparan tentang hal-hal yang penting dari Angkatan Pujangga Baru


 BAB II PEMBAHASAN
 A. Pujangga Baru

         Sebagaimana banyak hasil seni,sastra tidak lahir dalam sebuah kevakuman. Ada sebuah ruang diskursif yang terbentang manakala sebuah karya sastra dilahirkan. Poedjangga Baroe lahir dalam ruang diskrusif kebangkitan Eropa dengan semangat renaissance sebagai narasi besar yang menjadi hypogram-nya. Disisi lain, sastrawan pujangga baru juga berhadapan dengan realitas budaya asal,yakni hamparan budaya lokal tradisional,yang -sebagaimana penjajahan- tidak kondusif bagi ide-ide humanisme romantik.Tak bisa lain, kemerdekaan dari penjajahan dengan sendirinya menjadi conditio sine qua non bagi mungkinnya ide humanisme romantik ditegakkan.(Sarjono,2001:1)


 B. Hasil Analisis

       Sastra adalah anak yang sah dari zaman dan komunitasnya.Sebagaimana dengan banyak segi dalam kehidupan di Indonesia,karya-karya sastra banyak memiliki perbedaan ciri dan corak dari masing-masing periode. Berikut merupakan ciri dan corak karya sastra angkatan pujangga baru.

 1. Munculnya pemikiran yang modern
     
 Kehadiran pemikiran yang modern ternyata merupakan pengingkaran terhadap tradisi yang “ hangat “ yang hidup di masyarakat luas. Sajak-sajak Sutan Takdir Alisjahbana,misalnya,tidak sekukuh kualitas sajak-sajak Amir Hamzah sementara novel Siti Nurbaya Marah Roesli,secara sastrawi tidak sekukuh novel Salah Asuhan Abdul Muis. Disisi lain,Layar Terkembang STA pun tidak semantap kualitas sastrawi novel Belenggu Armijn Pane. Sekalipun begitu, karya yang secara isi mengusung patahan dan tentangan keras terhadap tradisi ternyata lebih populer dan memasyarakat dibanding karya yang bersimpati dan mencoba memberi harga pada kehangatan tradisi.Salah Asuhan jelas kalah populer dibanding Siti Nurbaya sementara Layar Terkembang lebih diterima publik dibanding Belenggu.(Sarjono,2001:127-128). Pemberontakan atau kritik terhadap dikursus yang dialami tradisi lokal masyarakat dalam banyak karya sastra modern Indonesia boleh jadi diterima publik kaum terdidik saat itu karena memang mewadahi harapan dan dambaan mereka untuk menolak tradisi,sebuah gugusan budaya lapuk yang dianggap membuat Indonesia menjadi bangsa terjajah. Dalam Layar Terkembang dilukiskan bagaimana pribadi-pribadi yang telah melepaskan dirinya dari ikatan-ikatan masyarakat .Kepala lakon dari novel-novel adalah wanita yang memperjuangkan hak-haknya dan kemajuan kaum wanita maupun bangsanya.(Alisjahbana,1997:130) Sementara itu, jelaslah bahwa pembebasan dari tradisi masyarkat kebudayaan lama itu taklah mungkin berakibat menimbulkan kebebasan mutlak,tetapi hanyalah kebebasan dari sekumpulan ikatan-ikatan yang lama untuk menerima ikatan-ikatan yang baru. Orang-orang yang masuk kedalam suasana kebebasan bukan hanya semata-mata menghadapi kehidupan yang giat dan penuh kegirangan. Hal itu dinyatakan oleh novel Armijn Pane, yang berjudul Belenggu.Dalam kekusutan hidup perkawinan seorang dokter dan istrinya,kita mendapat kemungkinan untuk melihat pada dasarnya manusia itu terikat,bukan saja oleh keadaan sekitanya, tetapi tiap-tiap kejadian atas dirinya dimasa yang lampau menentukan kehidupan jiwanya dan tiadalah yang dapat ditiadakannya lagi.(Alisjahbana,1997:131) Kita lihat disini, bahwa dari ikatan nilai-nilai dan norma yang lama soal pembebasan itu berpindah pada lingkungan kehidupan manusia yang luas,yang berpokok pada hukum-hukum jiwa,masyarakat dan kebudayaan.

 2. Pendekatan deskriptif menjadi dominan

 Dalam abad ke-19 didunia Barat pendekatan ekspresif menjadi dominan, menguasai ilmu sastra : diri penyair,jiwanya,daya ciptanya,dan lain-lain ditonjolkan, sesuai dengan aliran romantik yang juga dalam karya kreatifnya menonjolkan si aku seorang pengarang. Tidak kebetulanlah,baik dalam sastra abad ke-19 ini sendiri maupun kedalam pendekatan ilmiahnya,puisi lirik yang secara khusus diperhatikan. Gerakan itu masih dapat kita telusuri bekasnya dalam pendekatan beberapa Pujangga Baru, baik sebagai penyair maupun sebagai pengkritik sastra (terutama J.E Tatengkeng sebelum perang).Minat untuk diri si penulis sering kali digabungkan dengan pendekatan historis:yang diteliti adalah khususnya asal-usul sebuah karya ,bentuk purba,terjadinya dan penyebaran motif-motif,dan lain-lain.Hal inipun dapat dikaitkan dengan aliran romantisme yang juga sangat tertarik oleh masa lampau,masa purba, manusia asli,primitif, dan lain-lain.(Teeuw,1991:60)

 3. Dalam roman-romannya menghanyutkan pembaca kedalam emosi

 STA di waktu menulis bab-bab yang pertama Tak Putus Dirundung Malang itu didorong oleh perasaan kesedihan yang luas yang sering menghinggapi anak-anak muda seumur itu. STA sengaja menciptakan sesuatu yang sangat sedih.Mungkin dibaliknya terletak protes mengapa ada perasaan sedih, mengapa ada orang yang selalu dirundung malang ? Roman ini kemudian diselesaikan di Bandung dalam tahun 1928 ketika STA berusia 20 tahun dalam cuti 3 bulan dari pekerjaan sebagai guru rendah di Palembang,sebab sakit jantung yang mungkin ada hubungannya dengan wafatnya ibunya waktu itu. Dian yang Tak Kunjung Padam ditulis dalam tahun 1930.Pada akhir karangan ini Yasin dilukiskan sebagai seorang yang menerima nasibnya yang malang kehilangan kekasihnya,tetapi kesedihannya itu dapat diatasinya dengan melihat kerelatifannya cintanya itu dengan menaikkanya ketingkat lebih tinggi,membawa kesentodaan kedalam hidupnya.Dengan ringkas hal itu diucapkan pada akhir karangan: “Tetapi karena ia tiada dapat mencapai kemujuran dunia itu oleh perbuatan manusia,maka terlimpahlah kepadanya nikmat akhirat yang kekal, yang hanya teruntuk bagi orang yang dapat melepaskan dirinya dari segala ikatan dan kungkungan dunia” dengan ini nyata sekali kelihatan bahwa Dian yang Tak Kunjung Padamnjauh lebih positif daripada Tak Putus Dirundung Malang.(Alisjahbana,1997:10-11) Pada dasarnya Idrus yang mengatakan bahwa Anak Perawan di Sarang Penyamun lebih baik dari Tak Putus Dirundung Malang dan Dian yang Tak Kunjung Padam. Bukan saja bahasanya lebih teratur dan lukisan-lukisannya lebih berhasil,tetapi ceritanya pun lebih padat,meski bagaimana sekalipun tak termakan seorang akal seorang gadis dapat menakhlukan dan memperbaiki seorang penyamun yang melarikannya. Roman itupun lebih kuat dan telah bersifat optimisme.Kepada cinta kelamin manusia diberikannya suatu tugas etik dalam membentuk manusia yang kuat dan berguna dalam masyarakat dan kebudayaan.

 4. Memiliki struktur yang menonjol

 Dalam rangka karangan yang terbatas ini,nampak beberapa hal yang menonjol, simak beberapa contoh sajak dibawah ini:

 Sajak Amir Hamzah :
 BERDIRI AKU
 Berdiri aku disenja senyap
 Camar melayang menepis buih
Melayah bakau mengurai puncak
 Berjuang datang ubur terkembang
 Angin pulang menyejuk bumi
 Menepuk teluk mengempas emas
 Lari ke gunung memuncak sunyi
Berayun-ayun diatas alas
 Benang raja mencelup ujung
Naik marak menyerak corak
 Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
 Dalam rupa maha sempurna
 Rindu-rindu mengharu kalbu Ingin datang merasa sentosa
 Menyecap hidup tertentu tuju
(Teeuw,1991:66-67)

 Lalu bandingkan sajak karya Amir Hamzah di atas dengan sajak karya Chairil dibawah ini:
 Sajak Chairil Anwar
 SENJA DIPELABUHAN KECIL
 Ini kali tidak ada yang mencari cinta
 Diantara gudang,rumah tua pada cerita
Tiang serta temali,perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
 Gerimis mempercepat kelam.
Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram,desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan.
Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak
 Tiada lagi.Aku sendiri.
Berjalan Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba diujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat,sedu penghabisan bisa terdekap

 Pertama-tama kontras sudah jelas dari bentuk formal,khususnya struktur larik: Sajak Amir mempunyai struktur larik yang seratus persen terdiri atas dua pasangan,dengan struktur kata yang juga cukup teratur: larik itu sungguh-sungguh mempunyai rupa maha sempurna. Sebaliknya struktur larik sajak Chairil resah,gelisah,gelisah,tidak teratur :jumlah kata per larik tidak tentu,lagipula terus-menerus terdapat enjabemen,yang menekankan keresahannya.Kontras ada juga dalam keanekawarnaan dalam sajak Amir : benang raja , naik marak menyerak corak ,warna warna berarak-arak : Kesempurnaan warna , spektrum yang penuh yang sungguh-sungguh dapat disebut mahasempurna- sedangkan dalam sajak Chairil warna alam hanya muram dan kelam saja:tidak ada keindahan atau kesempurnaan warna,sebaliknya:ketidakadaan keindahan warna ditonjolkan. Kontras lagi sebagai berikut:dalam sajak Amir alam semesta seakan-akan bergerak kearah kesempurnaan:semuanya bergerak kearah yang sama itu,yang secara tata bahasa diungkapkan oleh dominasi kata kerja dengan me:melayang,menepis,melayah,mengurai,menyejuk,menepuk,mengempas,memuncak,mencelup,menyerak:semua aspek kosmos ikut bergerak kearah harmoniyang sempurna,yang ingin dihayati oleh si aku lirik sajak ini.Dia berdiri dikelilinngi oleh alam dunia yang bergerak kearah itu,dan akhirnya dia menghilang dalam keindahan itu :sesudah larik pertama si aku tidak disebut lagi. Sebaliknya sajak Chairil menyaran alam yang sepi membeku- yang makin lama makin tidak bergerak,hilang ombak,tidur.Didalam alam yang kehilangan gerak – (yang masih bergerak dulu,desir hari,telah lari pula ke pangkal akalan dibujuk,sehingga tidak terjangkau lagi oleh si Aku)-Si aku baru muncul,secara kontrastif dengan sajak Amir,dalam bait terakhir : hanya dia saja yang masih bergerak ,walau pun diketahuinya bahwa kegiatannya sudah tidak ada artinya lagi: “ sudah larut sekali”(Teeuw,1980:14) dan komunikasi dengan manusia lain tidak mungkin lagi.

 5. Muncul semangat Nasionalisme

 Banyak yang mengatakan “Perubahan Dari Lingkungan”, mengingat betapa kerasnya penjajahan yang telah dilalui oleh negara Indonesia mengakibatkan munculnya semangat nasionalisme, karena sengsara, akan muncul pemikiran untuk memperjuangkan hak-haknya yang telah terenggut. Semangat Pujangga baru tercerahkan semangat Aufklarung ini tidak dapat dengan segera mengolah tema-tema humanisme romantik tentang manusia sebagai sentrum yang girang mengolah kehidupan dan akal budi,karena diperhadapkan dengan kenyataan pahit :penjajahan!. Nasionalisme, marak menjadi ide utama karena dalam diri ada suatu rasa ini melepaskan diri dari penjajahan. STA- sosok warisan renaissance in optima forma- kemudian melahirkan “ Semboyan yang Tegas” ( Judul makalah S.T.Alisjahbana dalam kongres keguruan yang bersama tulisan budayawan lain dikumpulkan Achdiat K.Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan pada tahun1945 ) tentang indonesia sebagai sebuah identitas baru,lepas dari semua akar masa lalu yang disebut Pre-Indonesia.(Sarjono,2001:1)


 BAB III PENUTUP

 A. Kesimpulan

 1. Hal-hal penting Hal-hal penting yang dapat disimpulkan dalam ciri dan corak angkatan pujangga baru adalah sebagai berikut:
 • Karya-karyanya bersifat lebih modern
 • Mengingkari hal-hal yang berkecamuk dimasyarakat
 • Penulisan karyanya lebih deskriptif dalam menggambarkan
 • Muncul suatu semangat nasionalisme karena belajar dari pengalaman yang tertindas
 • Roman-romannya mempermainkan emosi pembaca
 • Sajaknya memiliki kejelasan dalam penggambaran maksud dan keindahan di sekitar
       Begitulah kesimpulan akhir dari pembahasan pada BAB II mengenai Ciri dan Corak Angkatan Pujangga Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar